(TO - Langkat) - Suparman alias BS dari Desa Kwala Langkat, Tanjung Pura, Langkat minta keadilan dan perlindungan Hukum. Sebagai pemilik lahan yang sudah ia kuasai dan usahakan selama puluhan tahun, Suparman meminta keadilan dan perlindungan hukum terkait tudingan adanya pengerusakan lahan mangrove di atas tanah miliknya.
Dengan bukti yang ia kumpulkan selama ini, Suparman menegaskan bahwa ia telah membeli tanah tersebut dari Keluarga Darus berdasarkan akta pelepasan Hak dan Ganti rugi yang diterbitkan oleh Camat. Tak hanya itu, ia juga telah mengeluarkan biaya untuk membuat sertifikat pada tahun 1975.
"Saya telah menguasai dan mengusahakan lahan tersebut selama bertahun-tahun dengan cara menanam sawit, membuat tambak udang dan kepiting," ujar Suparman, pemiliki tanah tersebut.
Namun, situasi menjadi semakin rumit saat ada tudingan bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari kawasan hutan. Pernyataan yang ditunjang oleh pengakuan dari Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah I Medan, Fernando Lumbantobing melalui Akbar, Kasi Perencanaan dan Penataan Kawasan Hutan (PPKH).
Menurut Akbar, sebelum adanya peta kawasan hutan di lokasi tersebut, maka harus mengacu pada penetapan peta register. Artinya, jika ada surat kepemilikan tahun 1965, tidak berlaku peta tahun 1982, melainkan peta register.
Namun, balai pemantapan kawasan hutan juga memberikan kesempatan untuk membuktikan kepemilikan lahan tersebut dengan surat tahun 1975. Jika memang benar, maka Suparman dapat mengeluarkan lahan tersebut dari kawasan hutan.
Kuasa hukum Suparman, H Ali Musa Tarigan SH MH dari kantor AMR Lawfirm yang berdomisili di Medan, mengapresiasi kinerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang telah memberikan penjelasan terkait lahan yang sudah dikuasai dan diusahakan selama puluhan tahun.
Merasa lega dengan hasil yang didapat, H Ali Musa Tarigan SH MH juga berharap proses penyelesaian tersebut dapat dilakukan secara administratif dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2021, Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7 Tahun 2021, serta UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasal 110 huruf (b) ayat (1) dan (2).
"Saya berharap agar pemerintah khususnya Dinas Kehutanan Langkat dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan tidak terpengaruh dengan pemberitaan miring dan aksi demo yang dilakukan oleh oknum-oknum yang diduga ingin menguasai dan memiliki lahan tersebut," tutup bang Ali, panggilan akrabnya.
Menambahkan hal itu, Herman Nasution selaku Kuasa Hukum Suparman juga mejelaskan bahwasanya saat ini diatas lahan milik Suparman itu sudah berdiri rumah bahkan Listrik Negara (PLN) pun sudah masuk.
"Kalau diatas lahan klien kami ini adalah lahan Mangrove, mana mungkin listrik Masuk. Negara tidak akan ijinkan listrik masuk ke Lahan Mangrove, karena yang membutuh listrik itu adalah warga dan juga pelaku usaha," tutup Herman.
Hal itu pun dibenarkan oleh warga bernama Azra'i Hasibuan. Sebagai warga, Ia dengan tegas membatah atas tuduhan sekelompok orang yang mengatakan adanya pengerusakan lahan Mangrove di Desa Kwala Langkat.
"Sudah ratusan tahun warga disini berusaha tambak Udang. Kalau benar - benar disini lahan Hutan Mangrove harusnya ada Plangnya. Lalu, ketika warga disini membangun tambak udang seharusnya pemerintah datang melarang. Sejak tahun 90 saya disini, tidak pernah pemerintah datang dan melarang membangun tambak," beber Azra'i Hasibuan kepada wartawan.
Hal ini juga diakui oleh tokoh masyarakat Langkat, Dato’ Setia Satia Samudera Wangsa Adhan Nur yang telah melakukan kunjungan langsung ke lokasi tersebut setelah adanya keluhan dari warga sekitar. Menurutnya, lahan tersebut bukanlah hutan mangrove, melainkan bekas lahan pertambakan.
Dengan adanya klarifikasi dari Suparman (BS) dan Azra'i Hasibuan serta Tokoh Masyarakat yakni Dato’ Setia Satia Samudera Wangsa Adhan Nur, dapat dipastikan bahwa tidak benar ada pengerusakan hutan mangrove di Desa Kwala Langkat. (red)