(TO - Medan) - Aliansi Pekerja Buruh Daerah Sumatera Utara (APBDSU) yang terdiri dari Serbundo, SBMI Merdeka, SPN Sumut, FSPMI-KSPI Sumut, F.SP. LEM -KSPSI Kab. Deliserdang, SBSI, KSBSI Sumut, FSPI - KPBI, OPPUK, SBMI Sumut dan SPR Sejahtera, menolak keras kebijakan Pemerintah melalui Omnibus Law pada bidang ketenagakerjaan.
Terkait hal tersebut Kordinator APBDSU Natal Sidabutar didampingi Ketua SPN Anggiat Pasaribu dalam siaran pers nya di Pendopo Lapangan Merdeka Medan, Senin (20/1/2020) siang mengatakan, "Kebijakan Pemerintah melalui Omnibus Law pada bidang ketenagakerjaan yang bertujuan untuk menarik minat investor, sudah dapat dipastikan akan mereduksi (mengurangi, memotong) hak-hak para pekerja/buruh yang telah diatur dalam Undang- undang", ujarnya.
Natal Sidabutar menjabarkan, Omnibus Law pada bidang ketenagakerjaan atau UU Cipta Lapangan Kerja bertolak belakang dengan tujuan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Dimana salah satu tujuan hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberi perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan meningkatkan kesejahteraan tenagakerja dan keluarganya.
Penjelasan Pemerintah terkait Omnibus Law kepada pimpinan serikat pekerja/buruh yang disampaikan melalui Telecinfrence oleh Sekretaris Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian dan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada tanggal 17 Januari 2020 tidak menjawab permasalahan pokok sehingga menjadi kekawatiran pekerja/buruh terhadap lahirnya Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law Bidang Ketenagakerjaan) tersebut.
Permasalahan pokok yang menjadi kekawatiran pekerja/buruh dengan lahirnya UU Cipta Lapangan Kerja ini menyangkut hilangnya (berkurangnya) uang pesangon bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK, waktu kerja, perubahan status kerja dari pekerja tetap menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak atau menjadi pekerja jam-jam-an yang memberikan peluang bagi pengusaha melakukannya pada semua jenis dan bidang kerja dan penghapusan sanksi pidana, seperti pemberlakuan PKWT saat ini hampir disetiap bidang kerja.
Dalam penjelasan yang disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Bidang Perekonomian dan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada Telecinfrence 17 Januari 2020, pertama menyangkut penerapan upah, skema upah per jam pada jenis pekerjaan tertentu, seperti konsultan, pekerjaan paruh waktu.
Pekerjaan paruh waktu dimaksud memberi peluang bagi pengusaha menerapkan pekerjaan paruh waktu pada semua bidang kerja yang ada dalam satu perusahaan, sebagaiman halnya penerapan jenis pekerjaan yang dapat dibuat dalam perjanjian kerja waktu tertentu selama ini.
Penjelasan mengenai PHK belum merinci atau belum ada penetapan besaran pesangon yang akan diberikan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK. Sementara besaran nilai pesangon sesungguhnya menjadi hal yang sangat krusial yang dipersoalkan pekerja/buruh, sehingga besar kemungkinan bahwa nilai besaran pesangon akan turun dari yang sebelumnya dan jika melihat dari jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang didengungkan pemerintah, berupa Cash Benefit (Imbalan Tunai), Vacational Training (Pelatihan Kejuruan) dan Job Placement Access (Akses Penempatan Kerja) yang kita juga belum mengetahui bentuk dari ketiga JKP tersebut.
Dalam hal waktu kerja, disebutkan bahwa waktu kerja paling lama 8 jam dalam 1 hari, artinya pemerintah memberi ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh kurang dari 8 jam dalam 1 hari. Hal ini tentu akan berdampak pada besaran upah (pendapatan) yang akan diterima oleh pekerja/buruh setiap bulannya, dan juga berdampak pada status kerja pekerja/buruh dalam perusahaan.
Dengan demikian APBDSU menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap pekerja/buruh yang disampaikan pemerintah dalam Omnibus Law atau UU Cipta Lapangan Kerja hanyalah sebuah "Kata Pemanis" untuk mengelabui pekerja/buruh, karena lewat penerapan Omnibus Law atau UU Cipta Lapangan Kerja ini pemerintah justru menghapus sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar hak-hak pekerja/buruh sebagaimana telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Penghapusan sanksi pidana ini dapat kita lihat pada klaster 8 Pengenaan Sanksi yang menitik beratkan pada penghapusan sanksi pidana dan mengedepankan sanksi administrasi dan/atau perdata.
"Berangkat dari hal diatas, kami Serikat Pekerja/Buruh dan NGO yang tergabung dalam APBDSU dengan keras menolak Omnibus Law pada bidang ketenagakerjaan (UU Cipta Lapangan Kerja) yang merugikan kepentingan pekerja/buruh. Dan sebagai bentuk penolakan (perlawanan) terhadap Omnibus Law (UU Cipta Lapangan Kerja) maka APBDSU akan menggelar aksi demonstrasi ke DPRD Sumut dan kantor Gubernur Sumut pada Kamis (23/1/2020) mendatang, dan untuk itu kami menyerukan kepada seluruh pekerja/buruh khususnya yang ada di Sumut untuk dapat terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut, namun dengan senantiasa menjaga keamanan dan ketertiban", tegas Natal Sidabutar menutup.
(red)